Breaking

Senin, 02 Maret 2020

ulumul hadits


PENGERTIAN ULUMUL HADITS, HADITS, SUNNAH, KHABAR, ATSAR DAN HADITS QUDSI
A.  Pengertian Ulumul Hadits
Ulumul Hadits adalah istilah ilmu hadits didalam tradisi hadits. ( ‘ulum al-hadits) ‘ulum al-hadits terdiri atas dua kata yaitu ‘ulum dan al-hadits. Kata ‘ulum dalam bahasa Arab adalah bentuk jamak dari ‘ilm yang berarti “ilmu”, sedangkan hadits berarti: “segala sesuatu yang taqrir atau sifat”. Dengan demikian gabungan antara ‘ulum dan al-hadits mengandung pengertian “Ilmu yang membahas atau yang berkaitan dengan hadits Nabi Saw”.
Ulumul Hadis adalah istilah ilmu hadis di dalam tradisi ulama hadits. (Arabnya: ‘ulumul al-hadits). ‘ulum al-hadits terdiri dari atas 2 kata, yaitu ‘ulum dan Al-hadits. Kata ‘ulum dalam bahasa arab adalah bentuk jamak dari ‘ilm, jadi berarti “ilmu-ilmu”; sedangkan al-hadits di kalangan Ulama Hadis berarti “segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi SAW dari perbuatan, perkataan, taqir, atau sifat.” Dengan demikian, gabungan kata ‘ulumul-hadits mengandung pengertian “ilmu-ilmu yang membahas atau berkaitan Hadis nabi SAW”.
Pada mulanya, Ilmu hadits memang merupakan beberapa ilmu yang masing-masing berdiri sendiri, yang berbicara tentang Hadits Nabi Saw dan para perawinya, seperti Ilmu al-Hadits al-Shahih, Ilmu al-Mursal, Ilmu al-Asma wa al-kuna, dan lain-lain. Penulisan ilmu-ilmu hadits secara parsial dilakukan, khususnya, oleh para ulama abad ke-3 H.
Ilmu-ilmu yang terpisah dan bersifat persial tersebut disebut dengan Ulumul Hadits, karena masing-masing membicarakan tentang Hadits dan para perawinya. Akan tetapi, pada masa berikutnya, ilmu-ilmu yang terpisah itu mulai digabungkan dan dijadikan satu, serta selanjutnya, dipandang sebagai satu disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Terhadap ilmu yang sudah digabungkan dan menjadi satu kesatuan tersebut tetap dipergunakan nama Ulumul Hadits, sebagaimana halnya sebelum disatukan. Jadi, penggunaan lafaz jamak Ulumul Hadits, setelah mengandung makna mufrad atau tunggal, yaitu ilmu hadits, karena telah terjadi perubahan makna lafaz tersebut dari maknanya yang pertama – beberapa ilmu yang terpisah – menjadi nama dari suatu disiplin ilmu yang khusus, yang nama lainnya adalah Mushthalah al-Hadits[1]

B.                 Pengertian Hadits

  1. Menurut Bahasa
ا لحديد
Artinya Baru
القريب
Artinya Dekat
الخبر
Artinya Barita
  1. Menurut Istilah
ما اضف الي رسول الله ص.م قولا كان او فعلا او تقريرا او صفة
Artinya     : Sesuatu yang disandarkan pada Rasulullah SAW. baik berupa ucapan, perbuatan, persetujuan maupun sifatnya.

C.                 Pengertian Sunnah    

Ø  Menurut Bahasa
العادة
Artinya Kebiasaan
الطريقة
Artinya Jalan
Ø  Menurut Istilah
1.      Menurut Ahli Hadits
segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam bentuk qaul (ucapan), fi’il (perbuatan), taqrir (penetapan), sifat tubuh serta akhlak yang dimaksudkan dengannya sebagai tasyri’ (pensyari’atan) bagi ummat Islam.[2]

لسنة هو ما اضف الي رسول الله ص.م قولا كان او فعلا او تقريرا او صفة اما بعد بعثة او قبلها امايتعلق بالأحكام او لا

Artinya     :   Sesuatu yang disandarkan pada Rasulullah SAW, baik berupa ucapan, perbuatan, ataupun persetujuan atau sifat baik setelah diangkat menjadi rasul maupun sebelum baik menyangkut hukum atau tidak

2.      Menurut Ahli Ushul Fiqh

السنة هو ما اضف الي رسول الله ص.م قولا كان او فعلا او تقريرا ويحد علي ما بعد بعثة ويحد علي ما يتعلقبالأحكام
Artinya     :   Sesuatu yang disandarkan pada Rasulullah SAW, baik berupa ucapan, perbuatan, ataupun persetujuan, terbatas pada yang muncul setelah pengangkatan Rasul dan terbatas pada masalah yang terait dengan hukum.

3.      Menurut Fuqoha :
Sunnah adalah salah satu dari hukum yang lima, adapun hukum yang lima itu adalah : Wajib, Sunah, Haram, Makruh, Mubah.
1.      Menurut Mazhab Hanafi Sunah yaitu sesuatu yang dituntut dengan tuntutan yang tidak mutlaq.
2.      Menurut Mazhab Syafi’I Sunah:

ما يثاب علي فعله ولا يعاقب علي  تركه

sesuatu yang diberi pahala bila dikerjakan, tapi tidak dosa atau tidak disiksa bila ditinggalkan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Sesungguhnya As-Sunnah itu adalah syari’at, yakni apa-apa yang disyari’atkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari agama (ini).”[3]

D.                Pengertian Khabar    

Menurut bahasa berarti an-Naba’ (berita-berita), sedang jama’nya adalah Akhbar
Khabar adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi dan para sahabat, jadi setiap hadits termasuk khabar tetapi tidak setiap khabar adalah hadits.
Menurut istilah ada tiga pendapat yaitu:
ü  Teori I
الخبر مرادف للحد يث يعني ما جاء من رسولله
Artinya     :   Khabar adalah sinonim dengan hadits yang artinya adalah sesuatu yang datang dari Rasulullah.
ü  Teori II
الخبر مغير للحد يث يعني ما جاء من غير رسولله
Artinya     :   Khabar itu berbeda dengan hadits yaitu berita yang datang dari selain Rasulullah.
ü  Teori III
الخبر أعم من الحد يث يعني يشمل علي ما جاء من رسولله و من غيره

Artinya     :   Khabar itu lebih umum dari hadits karena meliputi berita yang datang dari Rasulullah dan berita dari selain Rasulullah.

E.     Pengertian Atsar
Atsar menurut lughat/etimologi ialah bekasan sesuatu, atau sisa sesuatu, atau berarti sisa reruntuhan rumah dan sebagainya. dan berarti nukilan (yang dinukilkan). Sesuatu do’a umpamanya yang dinukilkan dari Nabi dinamai: do’a ma’tsur.
Atsar menurut Istilah/terminologi


1.      Teori I
الأثر مرادف للسنة يعني ماجاء من رسولله
Artinya     :   Atsar adalah sinonim dari sunnah yakni sesuatu yang datang dari Rasulullah.
2.      Teori II
الأثر مغير للسنة يعني ماجاء من غير رسولله
Artinya      : Atsar adalah bebeda dengan sunnah yakni sesuatu yang datang dari selain Rasulullah.
Menurut istilah Jumhur ahli hadits mengatakan bahwa Atsar sama dengan khabar juga hadits, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW., sahabat, dan tabi’in. Dari pengertian menurut istilah ini, terjadi perbedaan pendapat di antara ulama.
Sedangkan menurut ulama Khurasan, bahwa Atsar untuk yang mauquf (yang disandarkan kepada sahabat) dan khabar untuk yang marfu. (yang disandarkan kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam .
Jadi, atsar merupakan istilah bagi segala yang disandarkan kepada para sahabat atau tabi’in, tapi terkadang juga digunakan untuk hadits yang disandarkan kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam, apabila berkait misal dikatakan atsar dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam.
Contoh Atsar
Perkataan Hasan Al-Bashri rahimahullaahu tentang hukum shalat di belakang ahlul bid’ah:
وَقَالَ الْحَسَنُ: صَلِّ وَعَلَيْهِ بِدَعَتُهُ
“Shalatlah (di belakangnya), dan tanggungan dia bid’ah yang dia kerjakan.”
F.            Pengertian Hadits Qudsi
Qudsi secara bahasa diambil dari kata qudus, yang artinya suci. Disebut hadis qudsi, karena perkataan ini dinisbahkan kepada Allah, al-Quddus, Dzat Yang Maha Suci. Secara istilah adalah sesuatu (hadits) yang dinukil kepada kita dari Nabi Muhammad yang disanadnya secara langsung dari Allah Swt, atau melalui perantara malaikat Jibril.
Dengan demikian hadits qudsi adalah apa-apa yang diriwayatkan oleh Nabi Muhammad Saw dari Allah Swt, makna hadits tersebut dari Allah Swt sedangkan lafadznya dari Nabi Muhammad Saw. (Berbeda dengan al-Qur’an yang lafadz dan maknanya dari Allah Swt).
Perbedaan antara al-Qur’an dan hadits qudsi adalah sebagai berikut:
1.      Membaca hadits qudsi tidak termasuk ibadah yang setiap hurufnya. sedangkan membaca al-Qur’an merupakan ibadah yang setiap hurufnya akan mendapatkan pahala sepuluh kebaikan.
2.      Allah Swt menentang manusia untuk mendatangkan walau hanya satu ayat semisal (menunjukan al-Qur’an itu benar-benar datang dari Allah) dan hal ini tidak ada dalam hadits qudsi.
3.      Al-Qur’an itu akan tetap terjaga sebagaimana firman Allah Swt, “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS.al-Hijr: 9). Sedangkan hadits qudsi ada yang shohih, hasan, dho’if bahkan palsu.
4.      Al-Qur’an tidak boleh di baca secara maknanya sebagaimana ijma’ kaum muslimin. sedangkan hadits qudsi di perbolehkan.
5.      Al-Qur’an di syari’atkan membacanya di dalam shalat bahkan ada shalat yang tidak sah tanpa membacanya (alfatihah) berbeda halnya dengan hadits qudsi.
6.      Al-Qur’an tidak boleh di pegang kecuali orang yang suci (berwudhu). berbeda halnya dengan hadits qudsi.
7.      Al-Qur’an tidak diperkenankan dibaca oleh orang yang junub. berbeda halnya dengan hadits qudsi.
8.      Bahwasannya al-Qur’an telah tsabat dengan mutawatir secara qhot’i (pasti) yang mengandung faidah ilmu yang menyakinkan. Dan barangsiapa mengingkari satu huruf yang di sepakti oleh para al-Quro maka ia kafir. Sedangkan hadits qudsi, jika ada yang mengingkari sesuatu darinya karena menganggap tidak tsabat maka ia tidak kafir kecuali dia mengingkarinya sepengetahuan dia bahwa Nabi Saw memang berkata seperti itu maka ia kafir karena kedustaannya.
Contoh Hadits Qudsi :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: كَذَّبَنِي ابْنُ آدَمَ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ ذَلِكَ، وَشَتَمَنِي وَلَمْ يَكُنْ لَهُ ذَلِكَ، فَأَمَّا تَكْذِيبُهُ إِيَّايَ فَقَوْلُهُ: لَنْ يُعِيدَنِي كَمَا بَدَأَنِي، وَلَيْسَ أَوَّلُ الْخَلْقِ بِأَهْوَنَ عَلَيَّ مِنْ إِعَادَتِهِ، وَأَمَّا شَتْمُهُ إِيَّايَ فَقَوْلُهُ: اتَّخَذَ اللَّهُ وَلَدًا، وَأَنَا الْأَحَدُ الصَّمَدُ، لَمْ أَلِدْ وَلَمْ أُولَدْ، وَلَمْ يَكُنْ لِي كُفُوًا أَحَدٌ” (رواه البخاري (وكذلك النسائي
Diriwayatkan dari Abi Hurairah ra., bahwasanya Nabi Saw bersabda, telah Berfirman Allah Swt: "Ibnu Adam (anak-keturunan Adam/umat manusia) telah mendustakanku, dan mereka tidak berhak untuk itu, dan mereka mencelaku padahal mereka tidak berhak untuk itu, adapun kedustaannya padaku adalah perkataanya, “Dia tidak akan menciptakankan aku kembali sebagaimana Dia pertama kali menciptakanku (tidak dibangkitkan setelah mati)”, adapun celaan mereka kepadaku adalah ucapannya, “Allah telah mengambil seorang anak, (padahal) Aku adalah Ahad (Maha Esa) dan Tempat memohon segala sesuatu (al-shomad), Aku tidak beranak dan tidak pula diperankkan, dan tidak ada bagiku satupun yang menyerupai.” (HR. al-Bukhari dan an-Nasa-i)



DAFTAR PUSTAKA
1.      Drs. H. Ahmad Izzan, M.Ag. Ulumul Hadits. Bandung:Tafakur. Hal  94
2.      Majmu’ Fataawaa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (IV/436).
3.      Qawaa’idut Tahdits (hal. 62), Muhammad Jamaluddin al-Qasimi, Ushul Hadits, Dr. Muhammad ‘Ajjaj al- Khathib, cet. IV Darul Fikr 1401 H, Taisir Muthalahil Hadits (hal. 15), Dr. Mahmud ath-Thahhan.
6.      https://butterflyonly.wordpress.com/2013/10/23/pengertian-hadits-sunnah-khabar-dan-astar/


[1] Drs. H. Ahmad Izzan, M.Ag. Ulumul Hadits. Bandung:Tafakur. Hal  94
[2] Qawaa’idut Tahdits (hal. 62), Muhammad Jamaluddin al-Qasimi, Ushul Hadits, Dr. Muhammad ‘Ajjaj al- Khathib, cet. IV Darul Fikr 1401 H, Taisir Muthalahil Hadits (hal. 15), Dr. Mahmud ath-Thahhan.

[3] Majmu’ Fataawaa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (IV/436).



Tidak ada komentar:

Posting Komentar