1. Pengertian
Nasikh dan Mansukh dan Syarat-Syaratnya
Nasikh menurut
bahasa memilki dua arti yaitu: hilangkan dan hapuskan. Misalnya dikatakan nasakhat
asy-syamsu azh-zhilla, artinya matahari menghilangkan bayang-bayang dan nasakhat
ar-rih atsara al-masyyi, artinya angin menghapuskan jejak langkah kaki.
Kata naskh juga dipergunakan untuk makna memindahkan sesuatu dari suatu tempat
ke tempat lain. Misalnya:nasakhtu al- kitab, artinya, saya menyalin isi
kitab. Di dalam Al-quran dikatakan:
هَٰذَا كِتَابُنَا يَنْطِقُ عَلَيْكُمْ بِالْحَقِّ ۚ إِنَّا كُنَّا نَسْتَنْسِخُ مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
Artinya: “ Sesunguhnya kami menyuruh untuk
menasakhkan apa dahulu kalian kerjakan.” (Al-jatsiyah:29).
Maksudnya, kami (Allah) memindahkan amal perbuatan
kedalam lembaran-lembaran catatan amal.
Sedangkan menurut istilah nakh ialah
“mengangkat (menghapuskan) hukum syara’ dengan dalil hukum syara’ yang lain.”
Disebutkan disini kata “hukum”, menunjukkan bahwa prinsip “segala sesuatu hukum
asalnya boleh” (Al-Bara’ah Al-ashliyah) tidak termasuk yang di
naskh. Kata-kata “dengan dalil hukum syara’” mengecualikan pengangkatan
(penghapusan) hukum yang disebabkan kematian atau gila, atau penghapusan dengan
ijma’ atau qiyas. Contohnya:
وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ ۚ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Artinya: “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat,
Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah[83]. Sesungguhnya Allah
Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha mengetahui. Disitulah wajah Allah” (QS.
Al-Baqarah [2] : 115.)
Kemudian di nasakh oleh ayat:
قَدْ نَرَىٰ تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ ۖ
فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا ۚ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ
الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۚ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ
شَطْرَهُ ۗ وَإِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ
الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ ۗ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ
Artinya:
“maka palingkanlah mukamu ke arah masjidil haram....” (QS.
Al-Baqarah:144)
Ada yang
berpendapat inilah yang benar, bahwa ayat pertama tidak di naskh sebab
ia berkanaan dengan sholat sunnah saat dalam perjalanan yang dilakukan diatas
kendaraan, juga dalam keadaan takut dan daruarat. Dengan demikian, hkum ayat
ini tetap berlaku, sebagaimana dijelaskan dalam Ash-Shahihain. Sedang
ayat kedua berkenaan dengan sholat fardlu lima waktu. Dan yang benar, ayat
kedua ini menasakh perintah kehadap Baitul Maqdis yang ditetapkan dalam sunnah.
Sedangkan
pengertian mansukh adalah hukum yang diangkat atau
dihapuskan. Maka ayat mawarits (warisan)
atau hukum yang terkandung di dalamnya, misalnya adalah menghapuskan (nasikh) hukum
wasiat kepada kedua orang tua atau kerabat.
Dari uraian
diatas dapat disimpulkan bahwa dalam naskh diperlukan
syarat-syarat berikut:
a. Hukum yang mansukh adalah hukum syara’
b. Dalil penghapusan hukum tersebut adalah khitab syar’i
yang datang lebih kemudian hari khitabyang hukumnya di mansukh
c. Khitab yang
dihapuskan atau diangkat hukumnya tidak terikat (dibatasi) dengan waktu tertentu.
Sebab jika tidak demikian maka hukum akan berakhir dengan berakhiranya waktu
tersebut. Dan yang demikian tidak dinamakan nasakh.
Makki berkata: “segolongan Ulama menegaskan
bahwa khitab yang mengisyaratkan waktu dan batas tertentu,
seperti firman Allah: “Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka sampai
Allah mendatangkan perintah-Nya” (QS. Al-Baqarah;109), adalah muhkam, tidak mansukh, sebab
ia dikaitkan dengan batas waktu, dan sesuatu yang dibatasi oleh waktu tidak
ada naskh di dalamnya.
2. Sejarah
Nasikh dan Mansukh
Asal mula
timbulnya teori nasikh ialah bermula adanya ayat-ayat yang menurut anggapan
mereka saling bertentangan dan tidak dapat dikompromikan.
Nasikh mansukh alam konteks eksternal agama yang
lazim dikenal dengan sebutan al-bada diperselisihkan dikalangan antar pemeluk
agama.Penolakan Yahudi dan Nasrani terhadap kemungkinan bada’ dan penerimaan
kaum muslimin terhadap naskh antar agama, pada dasarnya timbul karena adanya
perbedaan paham ketiga agama ini terhadap kenabian dan kitab sucinya. Yahudi
dan Nasrani tidak mengakui adanya naskh, karena menurut
mereka, naskhmengandung konsep al-bada’, yakni
muncul setelah tersembunyi. Maksudnya mereka adalah, naskh itu
adakalanya tanpa hikmah, dan ini mustahil bagi Allah. Dan adakalanya karena
suatu kejelasan yang didahului oleh ketidakjelasan. Dan ini pun mustahil pula
bagi-Nya.
Cara berdalil
mereka ini tidak dapat dibenarkan, sebab masing-masing hikmah naskh dan mansukh telah
diketahui oleh Allah labih dahulu. Jadi pengetahuan-Nya tentang hikmah tersebut
bukan hal yang baru muncul. Ia membawa hamba-hambaNya dari satu hukum ke hukum
yang lain adalah karena sesuatu maslahat yang telah diketahuiNya yang absolut
terhadap segala milikNya.
Pengetahuan
tentang Nasikh dan Mansukh mempunyai manfaat besar, agar pengetahuan tentang
hukum tidak menjadi kabur dan tidak terjadi kesalahpahaman. Oleh sebab itu,
terdapat banyak atsar yang mendorong agar mengetahui masalah
ini. Seperti yang diriwayatkan Ali pada suatu hari, ia bertanya pada seorang
hakim “Apakah kamu mengetahui yang naskh dan yangmansukh?”
“Tidak” jawab hakim itu. Maka kata Ali, “Celakalah kamu dan kamu pun akan mencelakakan orang lain.”
Untuk mengetahui Nasikh dan Mansukh terdapat
beberapa cara:
a. Keterangan tegas dari Nabi
b. Ijma’ umat bahwa ayat ini nasikh dan yang itu
mansukh
c. Mengetahui mana yang terlebih dahulu dan mana yang
belakangan berdasarkan sejarah.
3. Klasifikasi
Nasikh dan Mansukh
a. Naskh Al-qur’an dengan Al-qur’an(Naskhul Qur’aani
bil Qur’aani)
Bagian ini disepakati
kebolehannyaa dan telah terjadi di dalam pandangan mereka yang mengatakan
adanya naskh. Misalnya, ayat tentang ‘iddah empat
bulan sepuluh hari.
b. Naskh Al-qur’an dengan As-Sunnah (Naskhul Qur’aani bis Sunnati)
Naskh ini ada dua macam:
1) Naskh Al-qur’an dengan hadits ahad. Jumhur
berpendapat, Al-qur’an tidak boleh dinasakh oleh hadits ahad, sebab Al-qur’an
adalah mutawattir dan menunjukkan keyakinan, sedang hadits ahad itu zhanni, bersifat
dugaan, disamping tidak sah pula menghapusakan sesuatu yang maklum (jelas
diketahui) dengan yang mazhnun (diduga).
2) Naskh Al-qur’an dengan hadits mutawattir. Naskh
senacam ini dibolehkan oleh Malik, Abu Hanifah, dan Ahmad dalam satu riwayat,
sebab masing-masing keduanya adalah wahyu. Allah berfirman:
وَمَا
يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَىٰ
إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ
إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ
Artinya: “Dan Tiadalah yang diucapkannya itu
(Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain
hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS.
An-Najm 3-4)
Dalam pada itu Asy-syafi’i, Zhahiriyah dan Ahmad
dalam riwayatnya yang lain menolaknaskh seperti ini, berdasarkan
firman Allah,
مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ
مِثْلِهَا ۗ أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Artinya: “Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami
jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya
atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya
Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?” (QS. Al-Baqarah:106)
Sedang hadits tidak lebih baik dari atau sebanding
dengan Al-qur’an.
c. Naskh sunah dengan Al-qur’an (Naskhus Sunnah bil Qur’aani)
Naskh ini menghapuskan hukum yang ditetapkan
berdasarkan sunnah diganti dengan hukum yang didasarkan dengan Al-qur’an. Naskh
jenis ini diperbolehkan oleh jumhur Ulama’. Contohnnya seperti berpuasa wajib
pada hari Asy-Syura yang ditetapkan berdasarkan sunnah juga dinasakh firman
Allah:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ
هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ ۚ فَمَنْ
شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۖ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ
عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۗ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ
الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ
وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Artinya: “Maka barang siapa menyaksikan bulan
Ramadlan hendaklah ia berpuasa.” (QS. Al-Baqarah:185)[1]
Maksudnya, semula berpuasa hari Asy-Syura itu wajib,
tetapi setelah turun ayat yang mewajibkan puasa pada bulan Ramadlan, maka puasa
pada hari Asyura itu tidak wajib lagi, sehingga ada orang yang berpuasa dan ada
yang tidak.
d. Nasikh sunah dengan sunah(Naskhus Sunnah bis
Sunnah)
Adapun menasakh ijma’ dengan ijma’ dan qiyas dengan
qiyas atau menasakh keduanya, maka pendapat yang shohih tidak membolehkannya.
4. Perbedaan antara Nasikh dan Mansukh
Adat Naskh adalah pernyataan yang menunjukkan adanya
pembatalan hukum yang telah ada. Nasikh yaitu dalil kemudian yang menghapus
hukum yang telah ada. Pada hakikatnya Nasikh itu berasal dari Allah, karena
Dialah yang membuat hukum dan Dia pulalah yang menghapusnya.
Sedangkan Mansukh adalah hukum yang dibatalkan, dihapuskan, atau dipindahkan.
Dan Mansukh ‘anh yaitu orang yang dibebani hukum.
5. Fungsi memahami Nasikh dan Mansukh
Fungsi memahami Nasikh dan Mansukh diantaranya
sebagai berikut:
a. Memelihara
kepentingan hamba
b. Perkembangan tasyri’
menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah dan perkembangan
kondisi umat manusia
c. Cobaan dan ujian
bagi orang mukallaf untuk mengikutinya atau tidak.
d.
Menghendaki kebaikan dan
kemudahan bagi umat. Sebab jika Nasikh itu beralih ke hal yang lebih
berat maka di dalamnya terdapat tambahan pahala, dan jika beralih kehal yang
mengandung kemudahan dan keringanan.
Pengetahuan yang
benar terhadap teks yang nasikh dan yang mansukh, disamping dapat membantu
seseorang di dalam memahami konteks diturunkannya sebuah teks,juga dapat
mengetahui bagian mana teks al-Qur’an yang turun lebih dahulu dan yang turun
kemudian.Disisi lain, pengetahuan terhadap fenomena ini juga akan memperteguh
kekayaan kita bahwa sumber Al-Qur’an yang hakiki adalah Allah. Sebab Dialah
yang menghapuskan sesuatu dan menetapkan yang lainnya menurtut kehendakNya dan
kekuasaaNya tidak dapat diintervensi oleh kekuatan apapun.
6. Pendapat tentang Nasikh dan Mansukh dan
ketetapannya
Dalam masalah Naskh, para Ulama terbagi atas empat
golongan:
a. Orang Yahudi. Mereka tidak mangakui
adanya Naskh, karena menurutnya, Naskh mengandung konsep al-bada’, yakni
Nampak jelas setelah kabur (tidak jelas). Yang dimaksud mereka ialah, Naskh itu
adakalanya tanpa hikmah, dan ini mustahil bagi Allah. Dan adakalanya Karena
sesuatu hikmah yang sebelumnya tidak nampak. Ini berarti terdapat suatu
kejelasan yang didahului oleh ketidakjelasan. Dan ini pun mustahilbagi-Nya.
Cara berdalil mereka ini tidak dapat dibenarkan, sebab masing-masing
hikmah Nasikh dan Mansukh telah diketahui Allah lebih dahulu. Jadi
pengetahuannya tentang hikmah tersebut bukan hal yang baru muncul. Ia membawa
hamba-hamba-Nya dari satu hokum ke hukum yang lain adalah karena suatu maslahat
yang telah diketahui-Nya jauh sebelum itu, sesuai dengan hikmah dan
kekuasaan-Nya yang absolut terhadap segala milik-Nya.
Orang Yahudi sendiri mengakui bahwa syari’at Musa
menghapuskan syari’at sebelumnya. Dan dalam nas-nas Taurat pun terdapat Naskh,
sepert pengharaman sebagian binatang atas Bani Israil yang semula dihalalkan.
Berkenaan dengan mereka Allah berfirman:
كُلُّ الطَّعَامِ كَانَ حِلًّا لِبَنِي إِسْرَائِيلَ
إِلَّا مَا حَرَّمَ إِسْرَائِيلُ عَلَىٰ نَفْسِهِ مِنْ قَبْلِ أَنْ
تُنَزَّلَ التَّوْرَاةُ ۗ قُلْ فَأْتُوا بِالتَّوْرَاةِ فَاتْلُوهَا إِنْ
كُنْتُمْ صَادِقِينَ
“Semua makanan adalah halal bagi Bani
Israil melainkan makanan yang diharamkan oleh Israil (Ya’kub) untuk dirinya
sendiri.” (QS. Ali Imran [3]:93)[5]
Ditegaskan dalam Taurat, bahwa Adam menikah dengan
saudara perempuannya. Tetapi kemudian Allah mengharamkan pernikahan dengan
demikian atas Musa, dan Musa memerintahkan Bani Israil agar membunuh siapa saja
di antara mereka yang menyembah patung anak sapi namun kemudian perintah in
idicabut kembali.
b. Orang Syi’ah Rafidah, mereka sangat
berlebihan dalam menetapkan Naskh dan meluaskannya. Mereka memandang
konsep al-bada’ sebagai suatu hal yang mungkin terjadi bagi
Allah. Dengan demikian, maka posisi mereka sangat kontradiksi dengan orang
Yahudi. Untuk mendukung pendapatnya itu mereka mengajukan argumentasi dengan
ucapan-ucapan yang mereka nisbahkan kepada Ali r.a.secara dusta dan palsu. Juga
dengan firman Allah:
يَمْحُو اللَّهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ ۖ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَابِ
Artinya: “Allah menghapuskan apa yang ia kehendaki dan menetapkan (apa
yang ia kehendaki).” (ar-Ra’d [13]:39) dengan pengertian bahwa Allah siap
untuk menghapuskan dan menetapkan.
Paham demikian
merupakan kesesatan yang dalam dan penyelewengan terhadap Qur’an. Sebab makna
ayat tersebut adalah: Allah menghapuskan segala sesuatu yang dipandang perlu
dihapuskan dan menetapkan penggantinya jika penetapannya mengandung maslahat.
Disamping itu penghapusan dan penetapan terjadi dalam banyak hal, misalnya
menghapuskan keburukan dengan kebaikan.
c. Abu Muslim
al-Asfahani. Menurutnya, secara logika Naskh dapat saja terjadi, tetapi tidak
mungkin terjadi menurut syara’. Dikatakan pula bahwa ia menolak sepenuhnya
terjadi Naskh dalam Al-Qur’an.
Pendapat Abu Muslim ini tidak dapat diterima, karena makna ayat tersebut
ialah, bahwa Qur’an tidak didahului oleh kitab-kitab yang membatalkannya dan
tidak datang pula sesudahnya sesuatu yang membatalkannya.
d. Jumhur Ulama. Mereka
berpendapat Naskh adalah suatu hal yang dapat diterima akal dan telah pula
terjadi dalam hukum-hukum syara’, berdasarkan dalil-dalil:
1. Perbuatan-perbuatan Allah tidak
tergantung padahal alasan dan tujuan. Ia boleh saja memerintahkan sesuatu pada
suatu waktu dan melarangnya pada waktu yang lain. Karena hanya Dialah yang
lebih mengetahui kepentingan hamba-hamba-Nya.
2. Nas-nas kitab dan Sunah menunjukkan
kebolehan Naskh dan terjadinya. Antara lain:
a) Firman Allah:
وَإِذَا بَدَّلْنَا آيَةً مَكَانَ آيَةٍ ۙ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا
يُنَزِّلُ قَالُوا إِنَّمَا أَنْتَ مُفْتَرٍ ۚ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا
يَعْلَمُونَ
“Dan apabila Kami mengganti suatu ayat di tempa ayat yang lain…” (QS.An-Nahl
[16]:101)
b) Dalam sebuah hadist shahih, dari Ibn
Abbas r.a., umar r.a.berkata : ”Yang paling paham dan paling menguasai Qur’an
diantara kami adalah Ubai. Namun demikian kami pun meninggalkan sebagian
perkataannya, karena ia mengatakan: “Aku tidak akan meninggalkan sedikit pun
segala apa yang pernah aku dengar dari Rasulullah SAW, padahal Allah telah
berfirman: Apa saja ayat yang Kami Naskhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa
kepadanya…” (Al-Baqarah [2]:106)[6]
KESIMPULAN
Nasikh ialah menghapuskan hukum syara’ dengan dalil
hokum syara’ yang lain. Disebutkan kata “hukum” disisni, menunjukkan bahwa
prinsip “segala sesuatu hokum asalnya boleh”. Sedangkan Mansukh adalah hukum
yang diangkat atau dihapuskan. Nasikh terdapat empat macam bagian, diantaranya:
1. Naskh Al-qur’andengan Al-qur’an
2. Naskh Al-qur’andengan As-sunnah
3. Naskh As-sunnahdengan Al-qur’an
4. Naskh As-sunnahdengan As-sunnah
Fungsi memahami Nasikh dan Mansukh diantaranya sebagai berikut:
1. Memelihara
kepentingan hamba
2. Perkembangan tasyri’
menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah dan perkembangan
kondisi umat manusia
3. Cobaan dan ujian
bagi orang mukallaf untuk mengikutinya atau tidak
4. Menghendaki kebaikan
dan kemudahan bagi umat. Sebab jika Nasikh itu beralih ke hal yang lebih berat
maka di dalamnya terdapat tambahan pahala, dan jika beralih ke hal yang
kebihringan maka ia mengandung kemudahan dan keringanan.
Jumhur Ulama. Mereka berpendapat Naskh adalah suatu hal yang dapat
diterima akal dan telah pula terjadi dalam hukum-hukum syara’, berdasarkan
dalil-dalil:
1. Perbuatan-perbuatan
Allah tidak tergantung pada alasan dan tujuan. Ia boleh saja memerintahkan sesuatu
pada suatu waktu dan melarangnya pada waktu yang lain. Karena hanya Dialah yang
lebih mengetahui kepentingan hamba-hamba-Nya.
2. Nas-nas kitab dan
Sunah menunjukkan kebolehan Naskh dan terjadinya.yaitu Firman Allah:
“Dan apabila Kami mengganti suatu ayat di tempat ayat yang lain…” (QS.An-Nahl
[16]:101)
DAFTAR
PUSTAKA
·
http://myrealblo.blogspot.com/2015/11/ulumul-quran-nasikh-dan-mansukh.html
· http://saifuddinasm.com/2013/01/23/ali-imran93-94-batalnya-yahudi-yang-mengharamkan-makanan/
·
Manna Khalil
Al-Qattan, StudiIlmu-Ilmu Qur’an, PustakaLiteraAntarNusa,
Jakarta:2001.
·
Nor Ichwan, Memahami
Bahasa Al-Qur’an, Pustaka Setia, Bandung: 2001.
·
Rosihon
Anwar, Ulum Al-Qur’an,PustakaSetia, Bandung: 2000.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar