2.1
Khitbah (Peminangan)
2.1.1. Pengertian Khitbah
Khitbah adalah permintaan seorang laki-laki
untuk menguasai seorang wanita tertentu dari keluarganya dan bersekutu dalam
urusan kebersamaan hidup. Atau dapat pula di artikan, seseorang laki-laki
menampakkan kecintaannya untuk menikah seseorang wanita yang halal
di nikahi secar syah. Adapun pelaksanaannya beragam; adapun peminang itu
sendiri yang memintak langsung kepada yang bersangkutan, atau mulai keluar, dan
atau mulai utusan seseorang yang dapat di percaya untuk memintak orang yang
dikehendakinya.
Di antara yang di
sepakati mayorit ulama fiqh, syariat, dan undang-undang bahwah tujuan pokok
khitbah adalah berjanji akan menikah, belum ada akat nikah. Dalam akat nikah,
memiliki ungkapan khusus ( ijab qabul ) dan
seperangkat persyaratan tertentu. Dengan demikian segala sesuatu yang tidak
demikian bukan akad nikah secara syarat.
Karakteristik khitbah
hanya semata perjanjianakan menikah. Masing- masing calon pasangan hendaknya
mengembalikan perjanjian ini di dasarkan pada pilihannya sendiri
karena mereka mengunakan haknya sendiri secara murni, tidak ada hak interveksi
orang lain. Bahkan andaikata sekaligus, atau wanita terpinang telah
menerima berbagai hadiah dari peminang, atau telah menerimah hadiah yang
berharga. Semua itu tidak menggeser status janji semata ( khitbah ) dan di
lakukan karena tuntutan maslahat. Maslahat akan terjadi dalam terjadi dalam
akat nikah manakahla kedua belah pihak di berikan kebebasan yang sempurna untuk
menentukan pilihannya, karena akat nikah adalah akad menentukan kehidupan
mereka. Di antara maslahat, yaitu jika dalam akad nikah didasarkan pada kelapangan
dan kerelaan hati kedua belah pihak, tidak ada tekanan dan paksaan dari
manapun.
Jika seseorang peminang
diwajibkan atas sesuatu sebab pinangan itu, berarti dia harus melaksanakan
akad nikah sebelum memenuhi segala sebab yang menjadi kerelaan. Demikian yang
di tetapkan kitab-kitab fiqh secara ijmah’ tanpa ada perselisihan.kesepakatan
tersebut tidak tidak berpengaruh pada yang diriwayatkan dari iman malik bahwa
perjanjian itu wajib di penuhi dengan putusan pengadilan menurut sebagai
pendapat. Akan tetapi dalam perjanjian akat nikah ( khitbah 0 tidak harus di
penuhi, karena penepatan janji ini menurut keberlangsungan akad nikah bagi
orang yang tidak ada kerelaan. Hakimpun tidak berhak memutuskan pemaksaan pada
akad yang kritis.
2.1.2. Dasar Hukum Khitbah
A.
Al-Qur’an
“ Dan
janganlah menampakkan perhiasannya ( auratmu ), kecuali apa yang bisa terlihat
darinya”.( QS. An-nur ( 24 ) :
31).
Ibnu abbas menafsirkan kalimat “ apa yang bisa terlihat
darinya” di maksutkan wajah dan kedua telapak tangan. Mereka juga menyatakan,
pandangan di sini di perbolehkan karena kondisi darurat makam henya sekadarnya,
wajah menujukkan dan kecintaan, sedangkan kedua telapak tangan menunjukkan
kehalusan dan kelemahan tubuh seseorang. Tidak memboleh memandang selain kedua
anggota tubuh tersebut jika tidak ada darurat yang mendorongnya.
B.
Hadist
“Lihatlah
ia, sesungguhnya penglihatan itu lebih utamauntuk mempertemukan antara anda
berdua. ( maksutnya menjaga kasih sayang dan kesesuaian )”. Hadis ini
diriwayatkan Al-mughirah bin syu’bah.
Jika meminang salah seseorang di antaranya kamu terhadap
seorang wanita maka jika mampu melihat apa yang menarik untuk di nikahi,
kerjakanlah. Jabir berkata: “kemudian aku meminang seorang wanita yang semula
tersembunyi sehinggah aku melihat apa yang menarik untuk menikahinya, kemudian
aku menikahinya.” ( HR. Dawud ).
C.
Para Ulama
Ulama hambali berpendapat bahwa batas
kebolehan memandang anggota tubuh wanita terpinang sebagai mana memandang
wanita mahram, yaitu apa yang tampak pada wanita pada umumnya di saat berkerja
dirumah, seperti wajah, kedua telapak tangan, leher, kepala,kedua tumit kaki,
dan sesamanya.
Ulama hanafi
berpendapat, kadar anggota tubuh yang di perbolehkan untuk di lihat adalah
wajah, kedua telapak tangan dan kedua kaki, tidak lebih dari itu. Memandang
anggota tubuh tersebut dinilai cukup bagi orang ingin mengetahui kondisi tubuhnya.
Dawud Azh-zhahiri
berpendapat bolehnya melihat seluruh anggota tubuh wanita terpinang yang di
inginkan. Berdasarkan keumuman sabda nabi; “ lihatlah kepadanya.” Di sini
rasulullah tidak mengkususkan suatu bagian bukan bagian tertentu
dalam kebolehan melihat.
Pendapat Azh-zhahiri
telah di tolak manyoritas ulama, karena pendapat mereka menyalahi ijma’ ulama
dan menyalahi prinsip untuk kebolehan sesuatu karenah darurat diperkirahkan
sekadarnya. Pendapat yang kuat ( rajih ), yakni bolehnya memandang wajah, kedua
tangan, dan kedua tumit kaki.
2.1.3. Beberapa Perkara
Penting Sebelum Pelamaran
Sebelum melakukan pelamaran, seorang lelaki hendaknya
memperhatikan beberapa perkara berikut sebelum menentukan wanita mana yang
hendak dia lamar. Hal ini selain berguna untuk melancarkan proses pelamaran
nantinya, juga bisa mencegah terjadinya perkara-perkara yang tidak diinginkan
antara kedua belah pihak.
1.
Mengetahui dan melihat sang
calon (perempuan).
Ini
bukan kewajiban, tapi disarankan agar tidak terjadi fitnah atau kasus di
kemudian hari.
Melihat
yang dimaksudkan disini adalah melihat diri wanita yang ingin dinikahi dengan
tetap berpanutan pada aturan syar’i. ”Dari Anas bin Malik, ia
berkata,”Mughirah bin Syu’bah berkeinginan untuk menikahi seorang perempuan.
Lalu rasulullah Saw. Bersabda, ”Pergilah untuk melihat perempuan itu karena
dengan melihat itu akan memberikan jalan untuk dapat lebih membina kerukunan
antara kamu berdua”. Lalu ia melihatnya, kemudian menikahi perempuan itu dan ia
menceritakan kerukunannya dengan perempuan itu. (HR. Ibnu Majah:
dishohihkan oleh Ibnu Hibban, dan beberap hadits sejenis juga ada misalnya
diriwayatkan Oleh Tirmidzi dan Imam Nasai.)
2.
Sang calon tidak dalam proses
dilamar laki-laki lain.
Dari
Abu Hurairah, Ia berkata,”Rasululloh SAW bersabda,”Seorang lelaki tidak boleh
meminang perempuan yang telah dipinang saudaranya” (HR.
Ibnu Majah).
Dari
Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
bersabda: "Janganlah seseorang di antara kamu melamar seseorang yang
sedang dilamar saudaranya, hingga pelamar pertama meninggalkan atau
mengizinkannya." Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut Bukhari.
Dari
Uqbah bin 'Amir r.a. bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda: "Orang mu'min
itu adalah saudaranya orang mu'min, maka tidak halallah kalau ia menjual atas
jualan saudaranya itu dan jangan pula melamar atas lamaran saudaranya, sehingga
saudaranya ini meninggalkan lamarannya -misalnya mengurungkan atau memberinya
izin-." (Riwayat Muslim).
Sebagian
ulama membolehkan seseorang melamar wanita yang telah dilamar jika pelamar
pertama adalah orang fasik atau ahli bid’ah,wallahu A’lam.
Oleh
karenanya, ada baiknya pihak laki-laki mencari dan mengumpulkan informasi
mengenai hal ini. Jika sang calon ternyata sedang pacaran dengan laki-laki
lain, bagaimana? pacaran BUKAN lamaran, tidak ada keterikatan secara hukum
(agama), maka sah-sah saja jika ada laki-laki lain yang melamar. Malah lebih
baik sang perempuan memprioritaskan dan menyetujui lamaran laki-laki lain,
daripada pacaran sekian lama tapi tidak jelas arahnya. Tentu saja, sang
perempuan juga mesti mengumpulkan informasi mengenai laki-laki yang melamarnya.
3.
Sang perempuan boleh
menolak/memilih yang melamarnya.
Sang
perempuan mempunyai hak untuk memilih (menyetujui/menolak) laki-laki yang
melamarnya. Hendaknya pada saat melamar, sang perempuan ditanya dan ditunggu
jawabannya. Dengan demikian, tidak terjadi pemaksaan dalam proses
lamaran.
Mari
simak hadits berikut Rasulullah SAW bersabda, “Janda lebih berhak atas
dirinya dibanding walinya. Sedangkan gadis dimintai izin tentang urusan
dirinya. Izinnya adalah diamnya. “(Mutaffaqun alaih).
Hadis
riwayat Abu Hurairah ra.: Bahwa Rasulullah SAW. bersabda: Seorang
wanita janda tidak boleh dinikahkan sebelum dimintai pertimbangan dan seorang
gadis perawan tidak boleh dinikahkan sebelum dimintai persetujuan. Para sahabat
bertanya: Ya Rasulullah, bagaimana tanda setujunya? Rasulullah saw. menjawab:
Bila ia diam.(Shahih Muslim)
4.
Tidak melamar perempuan yang
sedang masa iddah.
Yang
dimaksud masa iddah adalah waktu yang dimiliki seorang perempuan yang ditinggal
mati atau dicerai oleh suaminya. Sedangkan yang dilarang melamar di sini adalah
melamar secara terus terang. Sementara jika memberi ‘isyarat’, diperbolehkan.
“Dan
tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu
menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui
bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu
mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar
mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang makruf. Dan janganlah kamu berazam
(bertetap hati) untuk berakad nikah, sebelum habis iddahnya. Dan ketahuilah
bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah
kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” (Al
Baqarah (2):235)
Hendaknya masing-masing baik pihak pria maupun
wanita memperhatikan hal-hal berikut:
a)
Kesolehan
Hal ini berdasarkan hadits
Abu Hurairah -radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-
bersabda:“Wanita dinikahi karena empat perkara: karena hartanya, karena
keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya, maka pilihlah wanita
yang bagus agamanya”.
Karenanya, hendaknya dia
memilih wanita yang taat kepada Allah dan bisa menjaga dirinya dan harta
suaminya baik ketika suaminya hadir maupun tidak.
Rasulullah -Shallallahu
‘alaihi wasallam- bersabda tatkala beliau ditanya tentang wanita yang paling
baik: “Wanita yang taat jika disuruh, menyenangkan jika dilihat, serta
yang menjaga dirinya dan harta suaminya” (Hadits shohih riwayat Imam
Ahmad).
Karenanya pula dilarang
menikah dengan orang yang yang tidak menjaga kehormatannya, yang jika
pasangannya tidak ada di sisinya dia tidak bisa menjaga kehormatannya, semacam
pezina (lelaki dan wanita) atau wanita yang memiliki PIL (pria idaman lain) dan
sebaliknya.
‘Abdullah bin ‘Amr bin
Al-’Ash -radhiallahu ‘anhuma- berkata:“Sesungguhnya Abu Martsad Al-Ghanawy
-radhiallahu ‘anhu- datang menemui Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- meminta
izin kepada beliau untuk menikahi seorang wanita pezina yang dulunya wanita itu
adalah temannya saat jahiliyah yang bernama ‘Anaq. Maka Nabi -Shallallahu
‘alaihi wasallam- diam lalu turunlah firman Allah – Ta’ala-, ["Pezina
wanita, tidak ada yang boleh menikahinya kecuali pezina laki-laki atau musyrik
laki-laki" QS. An-Nur ayat 3]. Maka Nabi -Shallallahu ‘alaihi
wasallam- memanggilnya lalu membacakan ayat itu kepadanya dan beliau bersabda,
["Jangan kamu nikahi dia"]. Diriwayatkan oleh
Imam Empat kecuali Ibnu Majah dengan sanad yang hasan.
b) Subur lagi penyayang
Dari hadits Ma’qil bin Yasar -radhiallahu
‘anhu-, beliau berkata:“Pernah datang seorang lelaki kepada Nabi
-Shallallahu ‘alaihi wasallam- lalu berkata, ”Saya menyenangi seorang wanita
yang memiliki keturunan yang baik lagi cantik hanya saja dia tidak melahirkan
(mandul), apakah saya boleh menikahinya?”, beliau menjawab, ["tidak
boleh"]. Kemudian orang ini datang untuk kedua kalinya kepada beliau
(menanyakan soal yang sama) maka beliau melarangnya. Kemudian dia datang untuk
ketiga kalinya, maka beliau bersabda: ["Nikahilah wanita-wanita yang
penyayang lagi subur, karena sesungguhnya saya berbangga dengan banyaknya
jumlah kalian pada Hari Kiamat"] HR. Abu Daud dan An-Nasa`iy.
Anas Ibnu Malik
Radliallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
memerintahkan kami berkeluarga dan sangat melarang kami membujang. Beliau
bersabda: "Nikahilah perempuan yang subur dan penyayang, sebab dengan
jumlahmu yang banyak aku akan berbangga di hadapan para Nabi pada hari
kiamat." Riwayat Ahmad. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban.
c)
Hendaknya memilih wanita
yang masih perawan.
Hal ini berdasarkan Jabir bin ‘Abdillah
-radhiallahu ‘anhu- bahwasanya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bertanya
kepadanya,“Wanita apa yang kamu nikahi?”, maka dia menjawab, “Saya
menikahi seorang janda”, maka Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-
bersabda:“Tidakkah kamu menikahi wanita yang perawan?! yang kamu bisa
bermain dengannya dan dia bisa bermain denganmu?!” HR. Al-Bukhary dan
Muslim.
Dari Anas Ibnu Malik
Radhiallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam setelah memuji
Allah dan menyanjung-Nya bersabda: "Tetapi aku sholat, tidur, berpuasa,
berbuka, dan mengawini perempuan. Barangsiapa membenci sunnahku, ia tidak
termasuk ummatku."
2.2
Kafa’ah
2.2.1. Pengertian Kafa’ah
Kafa’ah berasal dari bahasa Arab yang berarti sama atau
setara. Kata ini merupakan kata yang terpakai dalam bahasa Arab dan terdapat
dalam Al-Qur’an dengan arti “sama” atau setara. Contoh dalam Al-Qur’an adalah
dalam surat Al-Ikhlas ayat 4 :
Artinya: “ dan
tidak ada seorangpun yang setara dengan-Nya”.
Dalam istilah fikih, “sejodoh” disebut “kafa’ah” ,
artinya ialah sama, serupa, seimbang, atau serasi. Menurut H. Abd. Rahman
Ghazali, kafa’ah atau kufu’, menurut bahasa, artinya “setara, seimbang, atau
keserasian/kesesuaian, serupa, sederajat atau sebanding”.
Yang dimaksud dengan kafa’ah atau kufu’ dalam perkawinan,
menurut istilah hukum Islam, yaitu keseimbangan dan keserasian antara calon
istri dan suami sehingga masing-masing calon tidak merasa berat untuk
melangsungkan perkawinan. Atau laki-laki sebanding dengan calon istrinya, sama
dalam kedudukan, sebanding dalam tingkat sosial dan derajat dalam akhlak serta
kekayaan.
Jadi, tekanan dalam hal kafa’ah adalah keseimbangan,
keharmonisan, dan keserasian, terutama dalam hal agama, yaitu akhlak dan
ibadah. Sebab, kalau kafa’ah diartikan persamaan dalam hal harta atau
kebangsawanan, maka akan berarti terbentuknya kasta, sedangkan manusia di sisi
Allah SWT adalah sama, hanya ketaqwaannyalah yang membedakannya. Hal
ini sesuai dengan Firman Allah SWT :
Artinya :
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya
kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu
disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al-Hujurat (49):13 )
Kafa’ah dalam perkawinan, merupakan faktor yang dapat
mendorong terciptanya kebahagiaan suami istri dan lebih menjamin keselamatan
perempuan dari kegagalan atau kegoncangan rumah tangga. Kafa’ah dianjurkan oleh
Islam dalam memilih calon suami/istri, tetapi tidak menentukan sah atau
tidaknya perkawinan.
Kafa’ah adalah hak bagi wanita atau walinya. Karena suatu
perkawinan yang tidak seimbang, tidak serasi/sesuai akan menimbulkan
problema berkelanjutan, dan besar kemungkinan menyebabkan terjadinya
perceraian.Oleh karena itu, boleh dibatalkan.
Kafaah yang di
sepakati ulama yaitu kualitas ke-beragamaan. “Tidak se-kufu tidak
dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak se-kufu karena
perbedaan agama atau ikhtilafu al-dien”
Ibnu Hazim berpendapat tidak ada ukuran-ukuran kufu’. Dia
berkata: “Semua orang Islam asal saja tidak berzina, berhak kawin dengan semua
wanita Muslimah, asal tidak tergolong perempuan lacur. Dan semua orang Islam
adalah bersaudara. Kendatipun ia anak seorang hitam yang tak dikenal umpamanya,
namun tak dapat diharamkan kawin dengan anak Khalifah Bani Hasyim. Walau
seorang Muslim yang sangat Fasiq, asalkan tidak berzina ia adalah kufu’ untuk
wanita Islam yang fasiq, asal bukan perempuan berzina”. Alasannya adalah
firman-firman allah:
Artinya: Orang-orang
beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah
hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu
mendapat rahmat. (QS. Al-Hujarat ayat 10)
Artinya: Dan
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang
yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang
kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.
Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS.
An-Nisa’: 3 )
Tujuan disyari'atkannya kafa'ah adalah untuk menghindari
celaan yang terjadi apabila pernikahan dilangsungkan antara sepasang pengantin
yang tidak sekufu (sederajat) dan juga demi kelanggengan kehidupan pernikahan,
sebab apabila kehidupan sepasang suami istri sebelumnya tidak jauh berbeda,
tentunya tidak terlalu sulit untuk saling menyesuaikan diri dan lebih menjamin
keberlangsungan kehidupan rumah tangga. Dengan demikian kafa’ah hukumnya adalah
dianjurkan, seperti dalam hadits Abu Hurairah yang dijadikan dasar tentang
Kafa’ah, yaitu:
Artinya: “Wanita
itu dikawini karena empat hal: karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan
agamanya, maka pilihlah yang beragama, semoga akan selamatlah hidupmu”.
Secara mafhum hadits ini berlaku pula untuk wanita yang memilih
calon suami. Dan khusus tentang calon suami ditegaskan lagi oleh hadits
At-Turmudzy riwayat Abu Hatim Al Mudzann.
Artinya:“Bila
datang kepadamu (hai wali), seorang laki-laki yang sesuai agama dan akhlaknya,
maka kawinkanlah anakmu kepadanya”.
Kafa’ah menurut bahasa adalah kesamaan dan kemiripan.
Adapun maksud yang sebenarnya adalah kesamaan antara dua belah pihak
suami-istri dalam 5 hal :
1.
Agama,
2.
Kedudukan. Yaitu
nasab atau silsilah keturunan
3.
Kemerdekaan. Maka seorang budak laki-laki tidaklah kufu’ bagi
wanita merdeka karena statusnya berkurang sebagai budak.
4.
Keterampilan.
Orang yang memiliki keterampilan di bidang tenun kufu’ dengan gadis seorang
yang memiliki profesi mulia, seperti pedagang.
5.
Memiliki harta sesuai dengan kewajiban untuk calon istrinya
berupa maskawin dan nafkah. Maka, laki-laki yang sulit ekonomi tidak kufu’
untuk seorang gadis yang berada karena pada wanita itu dalam bahaya dengan
kesulitan pada suaminya, karena bisa jadi nafkah yang harus ia terima
mengalami kemacetan.
Jika salah satu dari pasangan suami-istri berbeda dari
pasangannya dalam salah satu dari lima perkara ini, kafa’ah (keserasian,
kecocokan,kesetaraan) telah hilang. Namun hal ini tidak memberi pengaruh kepada
sahnya pernikahan karena kafa’ah bukan syarat dalam sahnya pernikahan. Seperti
perintah Nabi SAW kepada Fatimah bintu Qais untuk menikah dengan Usamah bin
Zaid. Maka, Usamah menikahinya atas dasar perintah Nabi`
Menurut Ibnu Rusyd, di kalangan Madzhab Maliki tidak di
perselisihka lagi bahwa apabila seorang gadis di kawinkan oleh ayahnya dengan
seorang peminum khamr (pemabuk), atau singkatnya dengan orang fasik, maka gadis
tersebut berhak menolak perkawinan tersebut. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa
para fuqoha’ juga berbeda pendapat tentang faktor nasab (keturunan), faktor
kemerdekaan, kekayaan dan keselamatan dari cacat (aib).
Menurut pendapat yang masyhur dari Imam Malik, dibolehkan
kawin dengan hamba sahaya Arab, seperti firman Allah dalam Qur’an Surat Al
Hujurat ayat 13:
Artinya
:”Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya
kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu
disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS. Al-Hujurat (49):13 )
2.2.2. Dasar Hukum Kafaah
Para ulama’ berbeda persepsi dalam menentukan kriteria
yang digunakan dalam kafa’ah:
Menurut
ulama Hanafiyah, yang menjadi dasar kafa’ah adalah:
A. Nasab
Yaitu keturunan atau kebangsaan. Orang Arab adalah kufu’
antara satu dengan lainnya. Begitu pula halnya dengan orang Quraisy sesama
Quraisy lainnya. Karena itu orang yang bukan Arab tidak sekufu’ dengan
perempuan Arab. Orang Arab tetapi bukan dari golongan Quraisy, tidak sekufu’
dengan/ bagi perempuan Quraisy lainnya.
B. Islam
Yaitu silsilah kerabatnya banyak yang beragama Islam.
Dengan Islam maka orang kufu’ dengan yang lain. Ini berlaku bagi orang-orang
bukan Arab. Adapun di kalangan bangsa Arab tidak berlaku. Sebab mereka ini
merasa sekufu’ dengan ketinggian nasab, dan mereka merasa tidak akan berharga
dengan Islam. Adapun diluar bangsa Arab yaitu para bekas budak dan
bangsa-bangsa lain, mereka merasa dirinya terangkat menjadi orang Islam. Karena
itu jika perempuan muslimah yang ayah dan neneknya beragama Islam, tidak kufu’
dengan laki-laki Muslim yang ayah dan neneknya tidak beragama Islam.
C. Hirfah
Yaitu profesi dalam kehidupan. Seorang perempuan dan
keluarga yang pekerjaannya terhormat, tidak kufu’ dengan laki-laki yang
pekerjaannya kasar. Tetapi kalau pekerjaannya itu hampir bersamaan tingkatannya
antara satu dengan yang lain maka tidaklah dianggap ada perbedaan. Untuk
mengetahui pekerjaan yang terhormat atau kasar, dapat diukur dengan kebiasaan masyarakat
setempat. Sebab adakalanya pekerjaan tidak terhormat di suatu tempat dengan
masa yang lain.
D. Kemerdekaan dirinya
Jadi budak laki-laki tidak kufu’ dengan perempuan
merdeka. Budak laki-laki yang sudah merdeka tidak kufu’ dengan perempuan yang
merdeka dari asal. Laki-laki yang salah seorang neneknya pernah menjadi budak
tidak kufu’ dengan perempuan yang neneknya tak pernah ada yang jadi budak.
Sebab perempuan merdeka bila dikawin dengan laki-laki budak dianggap
tercela. Begitu pula bila dikawin oleh laki-laki yang salah seorang neneknya
pernah menjadi budak.
E.
Diyanah.
Yaitu tingkat kualitas keberagamaan dalam Islam. Abu
Yusuf berpendapat: seseorang laki-laki yag ayahnya sudah dalam kufu’dengan
perempuan yang ayah dan neneknya Islam. Karena untuk mengenal laki-laki cukup
hanya dikenal ayahnya saja
F.
Kekayaan.
Golongan Syafi’i berkata bahwa kemampuan laki-laki fakir
dalam membelanjai isterinya adalah di bawah ukuran laki-laki kaya.
Sebagian lain berpendapat bahwa kekayaan itu tidak dapat jadi ukuran kufu’
karena kekayaan itu sifatnya timbul tenggelam, dan bagi perempuan yang berbudi
luhur tidaklah mementingkan kekayaan.
2.2.3. Hikmah Kafa’ah
dalam Kehidupan Rumah Tangga
1.
Kafa’ah merupakan
wujud keadilan dan konsep kesetaraan yang ditawarkan Islam dalam pernikahan.
Islam
telah memberikan hak thalaq kepada pihak laki-laki secara
mutlak. Namun oleh sebagian laki-laki yang kurang bertanggungjawab, hak thalaq yang
dimilikinya dieksploitir dan disalahgunakan sedemikian rupa untuk berbuat
seenaknya terhadap perempuan. Sebagai solusi untuk mengantisipasi hal tersebut,
jauh sebelum proses pernikahan berjalan, Islam telah memberikan hak kafa’ah terhadap
perempuan. Hal ini dimaksudkan agar pihak perempuan bisa berusaha seselektif
mungkin dalam memilih calon suaminya Target paling minimal adalah,
perempuan bisa memilih calon suami yang benar-benar paham akan konsep thalaq,
dan bertanggung jawab atas kepemilikan hak thalaq yang ada di
tangannya.
2.
Dalam Islam, suami memiliki fungsi sebagai
imam dalam rumah tangga dan perempuan sebagai makmumnya.
Konsekuensi dari
relasi imam-makmum ini sangat menuntut kesadaran keta’atan dan kepatuhan dari
pihak perempuan terhadap suaminya. Hal ini hanya akan berjalan normal dan wajar
apabila sang suami berada ‘satu level di atas’ istrinya, atau
sekurang-kurangnya sejajar.
3.
Naik atau turunnya derajat seorang istri,
sangat ditentukan oleh derajat suaminya.
Seorang perempuan
‘biasa’, akan terangkat derajatnya ketika dinikahi oleh seorang laki-laki yang
memiliki status sosial yang tinggi, pendidikan yang mapan, dan derajat
keagamaan yang lebih. Sebaliknya, citra negatif suami akan menjadi kredit
kurang bagi nama, status sosial, dan kehidupan keagamaan seorang istri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar