Breaking

Senin, 23 Maret 2020

khitbah dan kafaáh


2.1       Khitbah (Peminangan)
2.1.1.      Pengertian Khitbah
Khitbah adalah permintaan seorang laki-laki untuk menguasai seorang wanita tertentu dari keluarganya dan bersekutu dalam urusan kebersamaan hidup. Atau dapat pula di artikan, seseorang laki-laki menampakkan kecintaannya untuk menikah seseorang  wanita yang halal di nikahi secar syah. Adapun pelaksanaannya beragam; adapun peminang itu sendiri yang memintak langsung kepada yang bersangkutan, atau mulai keluar, dan atau mulai utusan seseorang yang dapat di percaya untuk memintak orang yang dikehendakinya.
Di antara yang di sepakati mayorit ulama fiqh, syariat, dan undang-undang bahwah tujuan pokok khitbah adalah berjanji akan menikah, belum ada akat nikah. Dalam akat nikah, memiliki ungkapan khusus ( ijab qabul ) dan seperangkat persyaratan tertentu. Dengan demikian segala sesuatu yang tidak demikian bukan akad nikah secara syarat.
Karakteristik khitbah hanya semata perjanjianakan menikah. Masing- masing calon pasangan hendaknya mengembalikan perjanjian ini di dasarkan  pada pilihannya sendiri karena mereka mengunakan haknya sendiri secara murni, tidak ada hak interveksi orang lain. Bahkan andaikata sekaligus, atau  wanita terpinang telah menerima berbagai hadiah dari peminang, atau telah menerimah hadiah yang berharga. Semua itu tidak menggeser status janji semata ( khitbah ) dan di lakukan karena tuntutan maslahat. Maslahat akan terjadi dalam terjadi dalam akat nikah manakahla kedua belah pihak di berikan kebebasan yang sempurna untuk menentukan pilihannya, karena akat nikah adalah akad menentukan kehidupan mereka. Di antara maslahat, yaitu jika dalam akad nikah didasarkan pada kelapangan dan kerelaan hati kedua belah pihak, tidak ada tekanan dan paksaan dari manapun.
Jika seseorang peminang diwajibkan atas sesuatu sebab pinangan itu, berarti dia harus melaksanakan akad nikah sebelum memenuhi segala sebab yang menjadi kerelaan. Demikian yang di tetapkan kitab-kitab fiqh secara ijmah’ tanpa ada perselisihan.kesepakatan tersebut tidak tidak berpengaruh pada yang diriwayatkan dari iman malik bahwa perjanjian itu wajib di penuhi dengan putusan pengadilan menurut sebagai pendapat. Akan tetapi dalam perjanjian akat nikah ( khitbah 0 tidak harus di penuhi, karena penepatan janji ini menurut keberlangsungan akad nikah bagi orang yang tidak ada kerelaan. Hakimpun tidak berhak memutuskan pemaksaan pada akad yang kritis.

2.1.2.      Dasar Hukum Khitbah
A.       Al-Qur’an
“ Dan janganlah menampakkan perhiasannya ( auratmu ), kecuali apa yang bisa terlihat darinya”.( QS. An-nur ( 24 ) : 31).
Ibnu abbas menafsirkan kalimat “ apa yang bisa terlihat darinya” di maksutkan wajah dan kedua telapak tangan. Mereka juga menyatakan, pandangan di sini di perbolehkan karena kondisi darurat makam henya sekadarnya, wajah menujukkan dan kecintaan, sedangkan kedua telapak tangan menunjukkan kehalusan dan kelemahan tubuh seseorang. Tidak memboleh memandang selain kedua anggota tubuh tersebut jika tidak ada darurat yang mendorongnya.
B.       Hadist
Lihatlah ia, sesungguhnya penglihatan itu lebih utamauntuk mempertemukan antara anda berdua. ( maksutnya menjaga kasih sayang dan kesesuaian )”. Hadis ini diriwayatkan Al-mughirah bin syu’bah. 
Jika meminang salah seseorang di antaranya kamu terhadap seorang wanita maka jika mampu melihat apa yang menarik untuk di nikahi, kerjakanlah. Jabir berkata: “kemudian aku meminang seorang wanita yang semula tersembunyi sehinggah aku melihat apa yang menarik untuk menikahinya, kemudian aku menikahinya.” ( HR. Dawud ).
C.     Para Ulama
Ulama hambali berpendapat bahwa batas kebolehan memandang anggota tubuh wanita terpinang sebagai mana memandang wanita mahram, yaitu apa yang tampak pada wanita pada umumnya di saat berkerja dirumah, seperti wajah, kedua telapak tangan, leher, kepala,kedua tumit kaki, dan sesamanya.
Ulama hanafi berpendapat, kadar anggota tubuh yang di perbolehkan untuk di lihat adalah wajah, kedua telapak tangan dan kedua kaki, tidak lebih dari itu. Memandang anggota tubuh tersebut dinilai cukup bagi orang ingin mengetahui kondisi tubuhnya.
Dawud  Azh-zhahiri berpendapat bolehnya melihat seluruh anggota tubuh wanita terpinang yang di inginkan. Berdasarkan keumuman sabda nabi; “ lihatlah kepadanya.” Di sini rasulullah tidak mengkususkan suatu bagian  bukan bagian tertentu dalam kebolehan melihat.
Pendapat Azh-zhahiri telah di tolak manyoritas ulama, karena pendapat mereka menyalahi ijma’ ulama dan menyalahi prinsip untuk kebolehan sesuatu karenah darurat diperkirahkan sekadarnya. Pendapat yang kuat ( rajih ), yakni bolehnya memandang wajah, kedua tangan, dan kedua tumit kaki.

2.1.3.      Beberapa Perkara Penting Sebelum Pelamaran
Sebelum melakukan pelamaran, seorang lelaki hendaknya memperhatikan beberapa perkara berikut sebelum menentukan wanita mana yang hendak dia lamar. Hal ini selain berguna untuk melancarkan proses pelamaran nantinya, juga bisa mencegah terjadinya perkara-perkara yang tidak diinginkan antara kedua belah pihak.
1.      Mengetahui dan melihat sang calon (perempuan).
Ini bukan kewajiban, tapi disarankan agar tidak terjadi fitnah atau kasus di kemudian hari.
Melihat yang dimaksudkan disini adalah melihat diri wanita yang ingin dinikahi dengan tetap berpanutan pada aturan syar’i. ”Dari Anas bin Malik, ia berkata,”Mughirah bin Syu’bah berkeinginan untuk menikahi seorang perempuan. Lalu rasulullah Saw. Bersabda, ”Pergilah untuk melihat perempuan itu karena dengan melihat itu akan memberikan jalan untuk dapat lebih membina kerukunan antara kamu berdua”. Lalu ia melihatnya, kemudian menikahi perempuan itu dan ia menceritakan kerukunannya dengan perempuan itu. (HR. Ibnu Majah: dishohihkan oleh Ibnu Hibban, dan beberap hadits sejenis juga ada misalnya diriwayatkan Oleh Tirmidzi dan Imam Nasai.)
2.      Sang calon tidak dalam proses dilamar laki-laki lain.
Dari Abu Hurairah, Ia berkata,”Rasululloh SAW bersabda,”Seorang lelaki tidak boleh meminang perempuan yang telah dipinang saudaranya” (HR. Ibnu Majah).
Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Janganlah seseorang di antara kamu melamar seseorang yang sedang dilamar saudaranya, hingga pelamar pertama meninggalkan atau mengizinkannya." Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut Bukhari.
Dari Uqbah bin 'Amir r.a. bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda: "Orang mu'min itu adalah saudaranya orang mu'min, maka tidak halallah kalau ia menjual atas jualan saudaranya itu dan jangan pula melamar atas lamaran saudaranya, sehingga saudaranya ini meninggalkan lamarannya -misalnya mengurungkan atau memberinya izin-." (Riwayat Muslim).
Sebagian ulama membolehkan seseorang melamar wanita yang telah dilamar jika pelamar pertama adalah orang fasik atau ahli bid’ah,wallahu A’lam.
Oleh karenanya, ada baiknya pihak laki-laki mencari dan mengumpulkan informasi mengenai hal ini. Jika sang calon ternyata sedang pacaran dengan laki-laki lain, bagaimana? pacaran BUKAN lamaran, tidak ada keterikatan secara hukum (agama), maka sah-sah saja jika ada laki-laki lain yang melamar. Malah lebih baik sang perempuan memprioritaskan dan menyetujui lamaran laki-laki lain, daripada pacaran sekian lama tapi tidak jelas arahnya. Tentu saja, sang perempuan juga mesti mengumpulkan informasi mengenai laki-laki yang melamarnya.
3.      Sang perempuan boleh menolak/memilih yang melamarnya.
Sang perempuan mempunyai hak untuk memilih (menyetujui/menolak) laki-laki yang melamarnya. Hendaknya pada saat melamar, sang perempuan ditanya dan ditunggu jawabannya. Dengan demikian, tidak terjadi pemaksaan dalam proses lamaran.
Mari simak hadits berikut Rasulullah SAW bersabda, “Janda lebih berhak atas dirinya dibanding walinya. Sedangkan gadis dimintai izin tentang urusan dirinya. Izinnya adalah diamnya. “(Mutaffaqun alaih).
Hadis riwayat Abu Hurairah ra.: Bahwa Rasulullah SAW. bersabda: Seorang wanita janda tidak boleh dinikahkan sebelum dimintai pertimbangan dan seorang gadis perawan tidak boleh dinikahkan sebelum dimintai persetujuan. Para sahabat bertanya: Ya Rasulullah, bagaimana tanda setujunya? Rasulullah saw. menjawab: Bila ia diam.(Shahih Muslim)
4.      Tidak melamar perempuan yang sedang masa iddah. 
Yang dimaksud masa iddah adalah waktu yang dimiliki seorang perempuan yang ditinggal mati atau dicerai oleh suaminya. Sedangkan yang dilarang melamar di sini adalah melamar secara terus terang. Sementara jika memberi ‘isyarat’, diperbolehkan.
“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang makruf. Dan janganlah kamu berazam (bertetap hati) untuk berakad nikah, sebelum habis iddahnya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” (Al Baqarah (2):235)
Hendaknya masing-masing baik pihak pria maupun wanita memperhatikan hal-hal berikut:
a)        Kesolehan
Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah -radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:“Wanita dinikahi karena empat perkara: karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya, maka pilihlah wanita yang bagus agamanya”.
Karenanya, hendaknya dia memilih wanita yang taat kepada Allah dan bisa menjaga dirinya dan harta suaminya baik ketika suaminya hadir maupun tidak.
Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda tatkala beliau ditanya tentang wanita yang paling baik: “Wanita yang taat jika disuruh, menyenangkan jika dilihat, serta yang menjaga dirinya dan harta suaminya” (Hadits shohih riwayat Imam Ahmad).
Karenanya pula dilarang menikah dengan orang yang yang tidak menjaga kehormatannya, yang jika pasangannya tidak ada di sisinya dia tidak bisa menjaga kehormatannya, semacam pezina (lelaki dan wanita) atau wanita yang memiliki PIL (pria idaman lain) dan sebaliknya.
‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash -radhiallahu ‘anhuma- berkata:“Sesungguhnya Abu Martsad Al-Ghanawy -radhiallahu ‘anhu- datang menemui Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- meminta izin kepada beliau untuk menikahi seorang wanita pezina yang dulunya wanita itu adalah temannya saat jahiliyah yang bernama ‘Anaq. Maka Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- diam lalu turunlah firman Allah – Ta’ala-, ["Pezina wanita, tidak ada yang boleh menikahinya kecuali pezina laki-laki atau musyrik laki-laki" QS. An-Nur ayat 3]. Maka Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- memanggilnya lalu membacakan ayat itu kepadanya dan beliau bersabda, ["Jangan kamu nikahi dia"]. Diriwayatkan oleh Imam Empat kecuali Ibnu Majah dengan sanad yang hasan.
b)    Subur lagi penyayang
Dari hadits Ma’qil bin Yasar -radhiallahu ‘anhu-, beliau berkata:“Pernah datang seorang lelaki kepada Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- lalu berkata, ”Saya menyenangi seorang wanita yang memiliki keturunan yang baik lagi cantik hanya saja dia tidak melahirkan (mandul), apakah saya boleh menikahinya?”, beliau menjawab, ["tidak boleh"]. Kemudian orang ini datang untuk kedua kalinya kepada beliau (menanyakan soal yang sama) maka beliau melarangnya. Kemudian dia datang untuk ketiga kalinya, maka beliau bersabda: ["Nikahilah wanita-wanita yang penyayang lagi subur, karena sesungguhnya saya berbangga dengan banyaknya jumlah kalian pada Hari Kiamat"] HR. Abu Daud dan An-Nasa`iy.
Anas Ibnu Malik Radliallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memerintahkan kami berkeluarga dan sangat melarang kami membujang. Beliau bersabda: "Nikahilah perempuan yang subur dan penyayang, sebab dengan jumlahmu yang banyak aku akan berbangga di hadapan para Nabi pada hari kiamat." Riwayat Ahmad. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban.
c)     Hendaknya memilih wanita yang masih perawan.
Hal ini berdasarkan Jabir  bin ‘Abdillah -radhiallahu ‘anhu- bahwasanya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bertanya kepadanya,“Wanita apa yang kamu nikahi?”, maka dia menjawab, “Saya menikahi seorang janda”, maka Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:“Tidakkah kamu menikahi wanita yang perawan?! yang kamu bisa bermain dengannya dan dia bisa bermain denganmu?!” HR. Al-Bukhary dan Muslim.
Dari Anas Ibnu Malik Radhiallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam setelah memuji Allah dan menyanjung-Nya bersabda: "Tetapi aku sholat, tidur, berpuasa, berbuka, dan mengawini perempuan. Barangsiapa membenci sunnahku, ia tidak termasuk ummatku."

2.2       Kafa’ah
2.2.1.      Pengertian Kafa’ah
Kafa’ah berasal dari bahasa Arab yang berarti sama atau setara. Kata ini merupakan kata yang terpakai dalam bahasa Arab dan terdapat dalam Al-Qur’an dengan arti “sama” atau setara. Contoh dalam Al-Qur’an adalah dalam surat Al-Ikhlas ayat 4 :
Artinya: “ dan tidak ada seorangpun yang setara dengan-Nya”.
 Dalam istilah fikih, “sejodoh” disebut “kafa’ah” , artinya ialah sama, serupa, seimbang, atau serasi. Menurut H. Abd. Rahman Ghazali, kafa’ah atau kufu’, menurut bahasa, artinya “setara, seimbang, atau keserasian/kesesuaian, serupa, sederajat atau sebanding”.
Yang dimaksud dengan kafa’ah atau kufu’ dalam perkawinan, menurut istilah hukum Islam, yaitu keseimbangan dan keserasian antara calon istri dan suami sehingga masing-masing calon tidak merasa berat untuk melangsungkan perkawinan. Atau laki-laki sebanding dengan calon istrinya, sama dalam kedudukan, sebanding dalam tingkat sosial dan derajat dalam akhlak serta kekayaan.
Jadi, tekanan dalam hal kafa’ah adalah keseimbangan, keharmonisan, dan keserasian, terutama dalam hal agama, yaitu akhlak dan ibadah. Sebab, kalau kafa’ah diartikan persamaan dalam hal harta atau kebangsawanan, maka akan berarti terbentuknya kasta, sedangkan manusia di sisi Allah SWT  adalah sama, hanya ketaqwaannyalah yang membedakannya. Hal ini sesuai dengan Firman Allah SWT : 
Artinya : “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al-Hujurat (49):13 )
Kafa’ah dalam perkawinan, merupakan faktor yang dapat mendorong terciptanya kebahagiaan suami istri dan lebih menjamin keselamatan perempuan dari kegagalan atau kegoncangan rumah tangga. Kafa’ah dianjurkan oleh Islam dalam memilih calon suami/istri, tetapi tidak menentukan sah atau tidaknya perkawinan.
Kafa’ah adalah hak bagi wanita atau walinya. Karena suatu perkawinan  yang tidak seimbang, tidak serasi/sesuai akan menimbulkan problema berkelanjutan, dan besar kemungkinan menyebabkan terjadinya perceraian.Oleh karena itu, boleh dibatalkan.
Kafaah yang di sepakati ulama yaitu kualitas ke-beragamaan. “Tidak se-kufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak se-kufu karena perbedaan agama atau ikhtilafu al-dien”
Ibnu Hazim berpendapat tidak ada ukuran-ukuran kufu’. Dia berkata: “Semua orang Islam asal saja tidak berzina, berhak kawin dengan semua wanita Muslimah, asal tidak tergolong perempuan lacur. Dan semua orang Islam adalah bersaudara. Kendatipun ia anak seorang hitam yang tak dikenal umpamanya, namun tak dapat diharamkan kawin dengan anak Khalifah Bani Hasyim. Walau seorang Muslim yang sangat Fasiq, asalkan tidak berzina ia adalah kufu’ untuk wanita Islam yang fasiq, asal bukan  perempuan berzina”. Alasannya adalah firman-firman allah:
Artinya: Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat. (QS. Al-Hujarat ayat 10)
Artinya:  Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. An-Nisa’: 3 )
Tujuan disyari'atkannya kafa'ah adalah untuk menghindari celaan yang terjadi apabila pernikahan dilangsungkan antara sepasang pengantin yang tidak sekufu (sederajat) dan juga demi kelanggengan kehidupan pernikahan, sebab apabila kehidupan sepasang suami istri sebelumnya tidak jauh berbeda, tentunya tidak terlalu sulit untuk saling menyesuaikan diri dan lebih menjamin keberlangsungan kehidupan rumah tangga. Dengan demikian kafa’ah hukumnya adalah dianjurkan, seperti dalam hadits Abu Hurairah yang dijadikan dasar tentang Kafa’ah, yaitu:
Artinya: “Wanita itu dikawini karena empat hal: karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan agamanya, maka pilihlah yang beragama, semoga akan selamatlah hidupmu”.
Secara mafhum hadits ini berlaku pula untuk wanita yang memilih calon suami. Dan khusus tentang calon suami ditegaskan lagi oleh hadits At-Turmudzy riwayat Abu Hatim Al Mudzann.
Artinya:“Bila datang kepadamu (hai wali), seorang laki-laki yang sesuai agama dan akhlaknya, maka kawinkanlah anakmu kepadanya”.
Kafa’ah menurut bahasa adalah kesamaan dan kemiripan. Adapun maksud yang sebenarnya adalah kesamaan antara dua belah pihak suami-istri dalam 5 hal :
1.        Agama,
2.        Kedudukan. Yaitu nasab atau silsilah keturunan
3.        Kemerdekaan. Maka seorang budak laki-laki tidaklah kufu’ bagi wanita merdeka karena statusnya berkurang sebagai budak.
4.         Keterampilan. Orang yang memiliki keterampilan di bidang tenun kufu’ dengan gadis seorang yang memiliki profesi mulia, seperti pedagang.
5.        Memiliki harta sesuai dengan kewajiban untuk calon istrinya berupa maskawin dan nafkah. Maka, laki-laki yang sulit ekonomi tidak kufu’ untuk seorang gadis yang berada karena pada wanita itu dalam bahaya dengan kesulitan pada suaminya, karena bisa jadi nafkah yang harus ia terima mengalami kemacetan.
Jika salah satu dari pasangan suami-istri berbeda dari pasangannya dalam salah satu dari lima perkara ini, kafa’ah (keserasian, kecocokan,kesetaraan) telah hilang. Namun hal ini tidak memberi pengaruh kepada sahnya pernikahan karena kafa’ah bukan syarat dalam sahnya pernikahan. Seperti perintah Nabi SAW kepada Fatimah bintu Qais untuk menikah dengan Usamah bin Zaid. Maka, Usamah menikahinya atas dasar perintah Nabi`
Menurut Ibnu Rusyd, di kalangan Madzhab Maliki tidak di perselisihka lagi bahwa apabila seorang gadis di kawinkan oleh ayahnya dengan seorang peminum khamr (pemabuk), atau singkatnya dengan orang fasik, maka gadis tersebut berhak menolak perkawinan tersebut. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa para fuqoha’ juga berbeda pendapat tentang faktor nasab (keturunan), faktor kemerdekaan, kekayaan dan keselamatan dari cacat (aib).
Menurut pendapat yang masyhur dari Imam Malik, dibolehkan kawin dengan hamba sahaya Arab, seperti firman Allah dalam Qur’an Surat Al Hujurat ayat 13:
Artinya :”Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS. Al-Hujurat (49):13 )

2.2.2.      Dasar Hukum Kafaah
Para ulama’ berbeda persepsi dalam menentukan kriteria yang digunakan dalam kafa’ah:
Menurut ulama Hanafiyah, yang menjadi dasar kafa’ah adalah:
A.       Nasab
Yaitu keturunan atau kebangsaan. Orang Arab adalah kufu’ antara satu dengan lainnya. Begitu pula halnya dengan orang Quraisy sesama Quraisy lainnya. Karena itu orang yang bukan Arab tidak sekufu’ dengan perempuan Arab. Orang Arab tetapi bukan dari golongan Quraisy, tidak sekufu’ dengan/ bagi perempuan Quraisy lainnya.
B.       Islam
Yaitu silsilah kerabatnya banyak yang beragama Islam. Dengan Islam maka orang kufu’ dengan yang lain. Ini berlaku bagi orang-orang bukan Arab. Adapun di kalangan bangsa Arab tidak berlaku. Sebab mereka ini merasa sekufu’ dengan ketinggian nasab, dan mereka merasa tidak akan berharga dengan Islam. Adapun diluar bangsa Arab yaitu para bekas budak dan bangsa-bangsa lain, mereka merasa dirinya terangkat menjadi orang Islam. Karena itu jika perempuan muslimah yang ayah dan neneknya beragama Islam, tidak kufu’ dengan laki-laki Muslim yang ayah dan neneknya tidak beragama Islam.
C.       Hirfah
Yaitu profesi dalam kehidupan. Seorang perempuan dan keluarga yang pekerjaannya terhormat, tidak kufu’ dengan laki-laki yang pekerjaannya kasar. Tetapi kalau pekerjaannya itu hampir bersamaan tingkatannya antara satu dengan yang lain maka tidaklah dianggap ada perbedaan. Untuk mengetahui pekerjaan yang terhormat atau kasar, dapat diukur dengan kebiasaan masyarakat setempat. Sebab adakalanya pekerjaan tidak terhormat di suatu tempat dengan  masa yang lain.
D.       Kemerdekaan dirinya
Jadi budak laki-laki tidak kufu’ dengan perempuan merdeka. Budak laki-laki yang sudah merdeka tidak kufu’ dengan perempuan yang merdeka dari asal. Laki-laki yang salah seorang neneknya pernah menjadi budak tidak kufu’ dengan perempuan yang neneknya tak pernah ada yang jadi budak. Sebab perempuan merdeka bila dikawin  dengan laki-laki budak dianggap tercela. Begitu pula bila dikawin oleh laki-laki yang salah seorang neneknya pernah menjadi budak.
E.        Diyanah.
Yaitu tingkat kualitas keberagamaan dalam Islam. Abu Yusuf berpendapat: seseorang laki-laki yag ayahnya sudah dalam kufu’dengan perempuan yang ayah dan neneknya Islam. Karena untuk mengenal laki-laki cukup hanya dikenal ayahnya saja
F.        Kekayaan.
Golongan Syafi’i berkata bahwa kemampuan laki-laki fakir dalam membelanjai isterinya adalah di bawah ukuran laki-laki kaya.  Sebagian lain berpendapat bahwa kekayaan itu tidak dapat jadi ukuran kufu’ karena kekayaan itu sifatnya timbul tenggelam, dan bagi perempuan yang berbudi luhur tidaklah mementingkan kekayaan.

2.2.3.      Hikmah Kafa’ah dalam Kehidupan Rumah Tangga
1.         Kafa’ah merupakan wujud keadilan dan konsep kesetaraan yang ditawarkan Islam dalam pernikahan.
Islam telah memberikan hak thalaq kepada pihak laki-laki secara mutlak. Namun oleh sebagian laki-laki yang kurang bertanggungjawab, hak thalaq yang dimilikinya dieksploitir dan disalahgunakan sedemikian rupa untuk berbuat seenaknya terhadap perempuan. Sebagai solusi untuk mengantisipasi hal tersebut, jauh sebelum proses pernikahan berjalan, Islam telah memberikan hak kafa’ah terhadap perempuan. Hal ini dimaksudkan agar pihak perempuan bisa berusaha seselektif mungkin dalam memilih calon suaminya  Target paling minimal adalah, perempuan bisa memilih calon suami yang benar-benar paham akan konsep thalaq, dan bertanggung jawab atas kepemilikan hak thalaq yang ada di tangannya.
2.         Dalam Islam, suami memiliki fungsi sebagai imam dalam rumah tangga dan perempuan sebagai makmumnya.
Konsekuensi dari relasi imam-makmum ini sangat menuntut kesadaran keta’atan dan kepatuhan dari pihak perempuan terhadap suaminya. Hal ini hanya akan berjalan normal dan wajar apabila sang suami berada ‘satu level di atas’ istrinya, atau sekurang-kurangnya sejajar.
3.         Naik atau turunnya derajat seorang istri, sangat ditentukan oleh derajat suaminya.
Seorang perempuan ‘biasa’, akan terangkat derajatnya ketika dinikahi oleh seorang laki-laki yang memiliki status sosial yang tinggi, pendidikan yang mapan, dan derajat keagamaan yang lebih. Sebaliknya, citra negatif suami akan menjadi kredit kurang bagi nama, status sosial, dan kehidupan keagamaan seorang istri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar